Hubungan antara Presiden dengan DPR
Berdasarkan
pada pasal 7C Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “ Presiden tidak dapat
membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan rakyat.”
Presiden
tidak bertanggungjawab ke-pada Dewan Perwakilan Rakyat.Kedudukan Presiden
dengan DPR adalah neben atau sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan
menetapkan APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu,
Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Presiden tidak bertanggungjawab kepada
Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak
dapat membu-barkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak
dapat menjatuhkan Presiden.
Alur
berpikir seperti terurai di atas dapatlah membantu kita untuk memahami mengapa
Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu memiliki kekuasaan yang luar
biasa besar. Hal ini dapat dimengerti, sebab Gouverneur Generaal, yang
kekuasaannya ditiru oleh UUD 1945 dalam bentuk kekuasaan Presiden itu, adalah
viceroy Belanda. Di tangan Gouvernuer Generaal-lah, kekuasaan tertinggi atas
Hindia Belanda itu terletak. Atas dasar itulah maka dapat dimengerti bahwa
Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu relatif omnipotent.
Di lain pihak, DPR
yang merupakan turunan Volksraad-pun tidak dapat melepaskan diri dari
sifat-sifat Volksraad itu sendiri. Volksraad pada masa penjajahan Belanda itu
dibentuk sebagai ‘wakil’ rakyat Hindia Belanda, yang berhadapan dengan
Gouverneur Generaal yang mewakili Mahkota Belanda itu. Fungsi Volksraad dengan
demikian pertama-tama adalah sebagai lembaga pengawas pemerintahan kolonial
Hindia Belanda, bukan sebagai lembaga legislatif. Lembaga legislatif Hindia
Belanda tetaplah Gouverneur Generaal itu sendiri. Pola hubungan ini diikuti
oleh UUD 1945 (sebelum amandemen). DPR pertama-tama adalah lembaga pengawas
Presiden, dan bukan lembaga legislatif. Lembaga legislatif menurut UUD 1945
adalah Presiden (bersama dengan DPR).
Namun
dalam Sidangnya pada tanggal 19 Oktober 1999 MPR membatasi kekuasaan Presiden,
dan mengalihkan kekuasaan legislatif dari Presiden bersama DPR tersebut kepada
DPR (bersama Presiden). Konstruksi konstitusional ini lebih mirip dengan
konstruksi model Inggris. Kekuasaan legislatif di Inggris sepenuhnya ada di
tangan Parliament, meskipun pengesahan secara nominal tetap ada di tangan Raja.
Presiden dengan demikian bertindak sebagai the ‘royal’ gouvernment, dan DPR
bertindak sebagai the loyal opposition.
Presiden
disebut eksekutif atau bahkan eksekutif par excellence, yang berwenang menjalankan
pemerintahan untuk melaksanakan tugas yang ditetapkan undang-undang. Sementara
DPR disebut legislatif karena menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran
dan fungsi pengawasan.
Dalam
menjalankan fungsi legislasi DPR adalah pembentukan undang- undang (lawmaker),
bahkan pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang. Rancangan undang-undang
(RUU) baik yang datang dari DPR maupun yang diajukan presiden dibahas
bersama-sama antara DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Presiden melaksanakan APBN, DPR mengawasi pelaksanaannya. Dalam fungsi
pengawasan itu DPR alat kelengkapan berupa hak interpelasi (hak mengajukan
pertanyaan), hak angket (hak untuk melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan
pendapat terhadap kebijakan pemerintah yang memiliki dampak besar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara maupun terhadap dugaan bahwa presiden
dan/atau wakil presiden melakukan tindak pelanggaran hukum seperti korupsi,
penyuapan, dan pidana berat lain, melakukan perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Presiden
tidak dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hal-hal yang
tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A yang berbunyi: “Presiden dan/atau wakil
presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan
tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden
dan/atau wakil presiden.”
DPR
bisa menyatakan pendapat yang dimilikinya bahwa presiden telah melakukan
pelanggaran hukum dan tindak pidana berat lain atau perbuatan tercela atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden tersebut. Adapun
pemeriksaan, penyelidikan, dan keputusan atas pendapat DPR tersebut menjadi
wewenang sepenuhnya Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan hukum acara di sana.
Bahkan lebih jauh dari itu, ketika seandainya MK telah membuktikan kebenaran
pendapat DPR sekalipun dan DPR mengajukan usulan kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) untuk memberhentikan presiden/wakil presiden, MPR dapat saja tidak
memberhentikannya. Presiden/wakil presiden masih juga diberi kesempatan untuk
memberikan penjelasan atas keputusan MK yang menyatakan presiden telah terbukti
bersalah. Penjelasan presiden/wakil presiden tersebut toh bisa saja diterima
oleh MPR. Walhasil, dalam UUD 1945 sekarang ini kedudukan presiden secara
politik sangatlah kuat. Pintu pemakzulan (impeachment) memang ada, tetapi
jalannya sangat panjang dan berliku serta pintunya sangat-sangat kecil. Berbeda
dengan sebelum ada amendemen UUD 1945, proses pemakzulan sepenuhnya politis dan
itu hanya terjadi di dalam (within) dua lembaga politik saja, yaitu DPR (ingat
mekanisme jatuhnya memorandum kepada presiden jika DPR menduga presiden
melanggar garis-garis besar daripada haluan Negara) dan MPR (melalui Sidang
Istimewa) saja.
Sementara
setelah amendemen pemakzulan presiden/wakil presiden merupakan perpaduan atau gabungan
antara proses politik dan proses hukum. Pemakzulan bukan lagi hanya menjadi
urusan DPR dan MPR, melainkan juga memutlakkan peran dan wewenang MK. Bahkan
menurut penafsiran penulis MK-lah yang lebih menentukan secara signifikan:
satu-satunya lembaga negara yang berhak memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat DPR mengenai pelanggaran tersebut di atas itu.
Jadi
dalam sistem presidensial, DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden, kecuali
Presiden sendiri yang menjatuhkan dirinya sendiri melalui tindak pelanggaran
hukum, perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden/wakil presiden. Sebaliknya, presiden tidak bisa membubarkan DPR.
Keduanya tidak lebih tinggi atau lebih rendah satu sama lain dan hanya bisa
dibedakan dari perspektif fungsi dan kewenangannya.
Mengenai
DPR diatur dalam pasal 19 – 22 UUD 1945. Susunan DPR ditetapkan dalam Undang –
Undang dan DPR bersidang sedikitnya sekali dalam setahun ( Pasal 19 ).
Mengingat keanggotaan DPR merangkap keanggotaan MPR maka kedudukan Dewan ini
adalah kuat dan oleh karena itu tidak dapat dibubarkan oleh Presiden yang
memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara.
Dewan Perwakilan Rakyat
DPR
memiliki kekuasaan membentuk UU ( pasal 20 ayat 1 ). Hal ini berbeda dengan UUD
1945 sebelum amandemen 2002, dimana DPR nampak lebih pasif karena sesuai dengan
UUD sebelum amandemen pasal 20, DPR dapat menyetujui RUU yang diusulkan
pemerintah, dan pasal 21 berhak mengajukan RUU. Menurut hasil amandemen 2002,
DPR memiliki kekuasaan membentuk UU dan mempunyai hak inisiatif yaitu hak untuk
mengajukan RUU ( Pasal 21 ayat 1 ).
Pasal
20 ayat (3) UUD 1945 menetapkan, bahwa jika RUU yang diajukan pemerintah tidak
mendapat persetujuan DPR, maka RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR pada masa itu. Pasal 21 ayat (2) dinyatakan bahwa apabila RUU
yang dikeluarkan DPR tidak disahkan Presiden, maka tidak boleh diajukan dalam
persidangan DPR pada masa itu. Dalam pasal 22 UUD 1945, Perpu harus mendapat
persetujuan dari DPR.
Hasil
amandemen 2002 dalam Pasal 20A dicantumkan hak dan fungsi DPR secara eksplisit
, yaitu :
DPR memiliki fungsi
:
·
Fungsi Legislasi,
yaitu fungsi membentuk UU yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
·
Fungsi Anggaran,
yaitu fungsi menyusun dan menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan
DPD
·
Fungsi
Pengawasan, yaitu fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UUD 1945,
UU, dan Peraturan Pelaksanaannya.
DPR memiliki hak :
·
Interpenetrate,
adalah hak DPR meminta keterangan kepada pemerintahan mengenai kebijakan
pemerintahan.
·
Hak angket,
adalah hak DPR melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang diduga
bertentangan dengan Peraturan Perundang – Undangan.
·
Hak menyatakan
pendapat, yaitu hak DPR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan
pemerintah.
·
Hak bertanya,
yaitu hak DPR bertanya kepada Presiden secara tertulis
·
Hak meminta
keterangan, yatiu hak DPR meminta keterangan kepada Presiden sekurang –
kurangnya 10 anggota dan secara tertulis.
·
Hak budget, yaitu
hak DPR ikut serta dalam menetapkan APBN.
·
Hak amandemen,
yaitu hak DPR untuk melakukan perubahan terhadap RUU yang diajukan oleh
Presiden.
·
Hak penyelidikan,
yaitu hak DPR untuk menyelidiki hal – hal tertentu, minimal dilakukan oleh 20
anggota.3
Anggota DPR
mempunyai hak ( Pasal 28 UU No 22 Tahun 2003 ) :
·
Mengajukan RUU
·
engajukan
pertanyaan
·
Menyampaikan usul
dan pendapat
·
Memilih dan
dipilih
·
Membela diri
·
Imunitas
·
Protokoler
·
Keuangan dan
administratif.
Dengan
adanya wewenang DPR seperti diatas, maka sepanjang tahun dapat terjadi musyawarah
yang teratur antara Pemerintah dengan DPR dalam menentukan kebijaksanaan dan
politik pemerintah.
Dalam
pembentukan UU APBN harus ada persetujuan dari DPR. Jika DPR menolak untuk
memberikan persetujuannya terhadap anggaran yang diusulkan pemerintah, maka
pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu ( Pasal 23 ayat 3 ). Dalam suatu
kabinet Parlementer, penolakan terhadap RAPBN dapat mengakibatkan berhentinya
Menteri yang bersangkutan, bahkan juga kabinet seluruhnya. Dalam hal ini, UUD
1945 menganut sistim pemerintahan Presidensiil tidak mengakibatkan Pemerintah
atau Menteri harus diberhentikan.
Untuk mencegah itu,
maka UUD 1945 menetapkan anggarang tahun lalu.4Sejak berlakunya UUD 1945 hingga
sekarang, baru sekali saja DPR menolak APBN yang akibatnya Presiden membubarkan
DPR.5